Hari Pendidikan Nasional,
disingkat HARDIKNAS, adalah hari yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk memperingati kelahiran Ki Hadjar Dewantara, tokoh
pelopor pendidikan di Indonesia
dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa, diperingati pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya
Sejarah
Hari
Pendidikan Nasional diperingati setiap tanggal 2 Mei,
bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara, pahlawan nasional yang dihormati sebagai bapak pendidikan nasional di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara lahir
dari keluarga kaya Indonesia selama era kolonialisme Belanda, ia dikenal karena berani
menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan
anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku
pendidikan.
Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan
ia diasingkan ke Belanda, dan ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan
bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia. Ki Hadjar Dewantara
diangkat sebagai menteri
pendidikan setelah kemerdekaan Indonesia. Filosofinya, tut wuri handayani
("di belakang memberi dorongan"), digunakan sebagai semboyan dalam
dunia pendidikan Indonesia. Ia wafat pada tanggal 26 April
1959. Untuk menghormati jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan Indonesia,
pemerintah Indonesia menetapkan tanggal kelahirannya sebagai Hari Pendidikan
Nasional.
Hari Perayaan
Meskipun bukan hari libur nasional, Hari Pendidikan Nasional dirayakan secara luas di Indonesia. Perayaannya biasanya ditandai dengan pelaksanaan upacara bendera di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, dari tingkat kecamatan hingga pusat, disertai dengan penyampaian pidato bertema pendidikan oleh pejabat terkait.
KI
HAJAR DEWANTARA
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi
Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki
Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar
Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei
1889 – meninggal
di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun. selanjutnya disingkat
sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia,
kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.
Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang
memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak
pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Masa muda dan awal karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Aktivitas pergerakan
Selain
ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di
seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat
Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan
kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi
muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia
Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD).
Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
Als ik een Nederlander was
Sewaktu
pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk
pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan
nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar
Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu
Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku
Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"),
dimuat dalam surat kabar De Expres
pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di
kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai
berikut.
"Sekiranya aku seorang
Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta
kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar
dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk
menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk
dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina
mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan
lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung
perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan
ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun
baginya".
Beberapa
pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri
karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini.
Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam
memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.
Akibat
tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua
rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo,
memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga
tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru
berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan
Dalam
pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal
Indonesia, Indische Vereeniging
(Perhimpunan Hindia).
Di
sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar
ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah
pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga
pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide
sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India,
Santiniketan, oleh keluarga Tagore.
Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi
kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung
dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya
untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau
Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal
ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik
maupun jiwa.
Semboyan
dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan
pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo
mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah
memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap
dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah
Perguruan Tamansiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar